Investasi Harta

Allah Swt berfirman:

"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan." (QS Al Mulk : 15)

Dalam ayat ini, Allah Swt memerintahkan untuk berjalan di muka bumi ini untuk mencari rezeki Allah Swt. Mencari rezeki wajib dilakukan untuk menyediakan kebutuhan harta karena tanpa bekerja, tidak mungkin ada uang dan harta. Bekerja hukumnya wajib menurut syariat Islam untuk melindungi hajat harta dari aspke menyediakan harta. dengan bekerja ini akan menghasilkan keuntungan karena buah dari usaha dan kerjanya.

setelah memiliki keuntungan, maka ia berhak untuk menggunakannya dan menginfakkannya sesuai dengan ketentuan syariah tanpa berlebih-lebihan dan pemubadziran. Seorang mukallaf dengan keuntungan yang dimilikinya berapa pun besarnya, maka harus menginfakkan sebagian dari keuntungannnya tersebut dan sisanya harus ditabungkan (investasi). Kelebihan harta setelah diinfakkan tidka boleh didiamkan karena merupakan penimbunan yang diharamkan menurut Al Qur'an dan Al Hadis, juga diharamkan karena kita berkewajiban mengembangkan harta sehingga terjadi penambahan produksi supaya bisa merealisasikan maksud Allah dalam menyiapkan kekuatan dalam umat ini untuk menghadapi musuh-musuh Islam sebagaimana firman Allah Swt.:

"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh ALlah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya." (QS Al Anfal : 60)

Dari aspek ekonomi, jika harta tidak diinvestasikan, ia hanya menjadi seonggok harta yang tidak berguna. Islam tidak menyukai adanya tindakan penimbunan harta yang sia-sia. Di satu pihak Islam memberikan disinsentif terhadap saving yang tidak diinvestasikan, namun di lain pihak Islam memberikan insentif untuk melakukan investasi. Konsekuensi logis dari investasi adalah munculnya peluang untuk untung dan rugi.

Jadi dengan argumen ilmu ekonomi, larangan penimbunan harta adalah untuk meningkatkan kesejahteraan manusia itu sendiri. Di dalam buku al ihya, Imam Ghazali juga mengecam orang yang menimbun harta dan tidak ditransaksikan atau diputar di sektor riil.

Jika seseorang menimbun dirham dan dinar, ia berdosa. DInar dan dirham tidak memiliki guna langsung pada dirinya. Dinar dan dirham diciptakan suaya beredar dari tangan ke tangan, untuk mengatur dan memfasilitasi pertukaran (sebagai) simbol untuk mengetahui nilai dan kelas barang. Siapapun yang mengubahnya menjadi pealatan emas, maka ia tidak bersyukur kepada penciptanya dan lebih buruk daripada penimbunan uang, karena orang yang seperti itu adalah seperti orang yang memaksa penguasa untuk melakukan fungsi-fungsi yang tidak cocok seperti menenun kain, mengumpulkan pajak, dan lain-lain. Menimbun koin masih lebih baik dibandingkan mengubahnya, karena ada logam dan material lainnya seperti tembaga, perunggu, besi, tanah liat yang dapat digunakan untuk membuat peralatan. Tetapi tanah liat tidak dapat digunakan untuk mengganti fungsi dirham dan dinar.

Sumber:

Karim, Adiwarman A., dan Oni Sahroni. 2015. Riba, Gharar dan Kaidah-kaidah Ekonomi Syariah Analisis Fikih dan Ekonomi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

2,5 % Untuk Harta Yang Lebih Berkah

Sering kita dengar dari teman-teman di sekitar kita atau bahkan mengalami sendiri, keadaan dimana  belum lama gajian tetapi tiba-tiba uang sudah habis. Mungkin memang karena manajemen keuangan kita memang belum baik. Tetapi apakah hanya karena itu harta yang kita miliki seakan tidak bermanfaat, baik untuk kita maupun untuk orang lain? Hilang tanpa bekas, habis tak bersisa. Keadaan lain yang sering terjadi adalah kita merasa harta yang kita miliki belum cukup untuk memenuhi kebutuhan kita. Kita selalu merasa kurang dan kurang.  Keadaan seperti inilah yang disebut harta yang kita miliki tidak berkah. Kok bisa?

Allah SWT berfirman dalam QS Az Zariyat ayat 19:

Artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”.

Jelas dalam surat tersebut bahwa di dalam harta kita ada hak untuk orang lain khusunya untuk fakir miskin. Jadi wajarlah apabila sebagian dari penghasilan kita tidak kita sisihkan untuk fakir miskin, berarti kita telah memakan hak mereka. Inilah yang membuat penghasilan yang kita peroleh tidak berkah.

Islam menganjurkan kita untuk mengeluarkan zakat 2,5% dari penghasilan kita. Akan tetapi, zakat harus memenuhi nisab dan kepemilikannya pun minimal setahun. Untuk itu, 2,5% dari penghasilan bisa kita salurkan dalam bentuk infak ataupun sedekah. Dimana infak dan sedekah tidak ada nisabnya. Kita wajib mengeluarkan infak atau sedekah dari penghasilan yang kita peroleh baik hasil usaha maupun hasil bumi sebagaimana firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS Al Baqarah : 267)

Penyebab lain mengapa harta yang kita miliki tidak berkah adalah bahwa tidak ada jaminan 100% pendapatan kita halal murni, sehingga 2,5% yang kita keluarkan dari penghasilan kita digunakan untuk mensucikan harta tersebut. Nabi Muhammad SAW bersabda:

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (QS. At-Taubah: 103)

Pahala sedekah yang akan Allah berikan kepada kita minimal 10 kali lipat dari apa yang telah kita keluarkan, bahkan 700 kali lipat dari harta yang kita sedekahkan tersebut. Allah SWt berfirman:

Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al An’am: 160).


“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah (SEDEKAH) adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Baqarah : 261)
 

Ustadz Yusuf Mansyur telah menggambarkan pahala sedekah dalam matematika sedekah sebagai berikut:

Dalam perhitungan matematika,

10 – 1 = 9

Akan tetapi matematika sedekah

10 – 9 = 19.

Kenapa bisa 19? Ini berdasarkan QS Al An’am tersebut di atas bahwa satu kebaikan akan dibalas 10 kali lipat dari kebaikan yang dikeluarkan. Sehingga apa bila kita memberi 1, maka Allah akan memberi kita 10 yaitu 10 kali lipat dari satu, sehingga sisa harta kita yang 9 ditambah dengan pahala dari Allah 10, hasilnya menjadi 19. Sama dengan apabila kita memperoleh gaji 2 juta per bulannya, maka kita dianjurkan untuk mengeluarkan 2,5% dari gaji kita tersebut, yaitu Rp. 50.000,-. Allah akan melipatgandakannya menjadi 500.000 sehingga uang kita akan menjadi Rp. 2.450.000,- bahkan bisa dilipatgandakan menjadi 700 kali lipat oleh Allah. Bagaimana ini bisa terjadi? Allah Ta’ala berfirman:

"Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya). Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS Saba : 39)